Minggu, 08 Oktober 2017

RITUAL SEPATU BATA


Sore itu langit mendung. Angin menderu menjawab sahutan gledek yang mengluduk. Mau hujan nampaknya. Benar saja, hujan deras turun, tak lama kemudian. Laki-laki berseragam satpam itu, nampak memandu mobil terakhir yang keluar dari tempat parkiran. Jendela mobil itu terbuka, sebuah tangan menjulur memberikan logam, lima rupiah. Mobil ke dua puluh yang memberi tip, hari ini. ‘Lumayan’, gumamnya, sambil menyeka mukanya yang basah terguyur hujan. Dengan semangat, laki-laki itu pulang kerumahnya dibilangan Priok, Jakarta Utara, membawa seratus dua puluh lima rupiah, hasil markir hari itu, dikantong celananya. Dipotong ongkos bus yang lima rupiah, berlebihlah uang yang dibawa pulang. Terbayang olehnya, gajinya bulan ini, yang tak seberapa itu, akan aman dipakai membayar biaya sekolah lima anaknya dan warung Ce Odah, tempat istrinya biasa ngebon.


Dua puluh dua tahun kemudian, kejadian memarkir mobil itupun masih tetap berlangsung. Masih tetap Satpam, tidak naik jabatan apalagi promosi. Masih tetap pulang kerumahnya, yang berdinding bilik, yang hasil urugan (obat-obatan bekas dari Perusahaan Farmasi tempatnya bekerja) sebuah empang. Yang berbeda, hanya semakin renta saja Laki-laki itu. Tapi syukur selalu ia panjatkan dalam doa-doa pribadinya, karena hanya berbekal ijasah SD, ia bisa bertahan dan sukses menghidupi istri dan lima anaknya, di Jakarta. Hari itu ia gajian. Ini gaji terakhirnya. Bulan depan ia pensiun. Ia bertekat, melakukan ritual tahunan, terakhirnya. Membelikan sepatu merk Bata, sama model, sama warna, bagi empat anak laki-lakinya dan beda sedikit bagi satu anak wanitanya. Kalau dulu ia tenteng sendiri berjejer kelima anaknya naik bus dari Priok menuju Pasar Baru, toko sepatu Bata, di Jakarta Pusat, sekarang ia berbekalkan tapak kaki terbuat dari koran yang ia gunting dan pas kan dikaki anak-anaknya. ‘Biar saja’, gumam laki-laki renta itu. Biar anak-anaknya yang empat sudah bekerja dan satu sedang kuliah di luar kota, ritual tahunan beli sepatu ini, akan tetap ia lakukan. Toh ini tahun yang terakhir.


Saya tahu persis cerita tentang parkiran ini. Juga rumah berdinding bilik hasil urugan sebuah empang. Apalagi cerita ritual tahunan beli sepatu bersama itu. Karena pandangan mata berbinar laki-laki itu ketika melihat anaknya mengepaskan sepatu dikaki, di toko sepatu, sama berbinarnya ketika menyaksikan anak tertuanya diwisuda di sebuah perguruan Tinggi terkemuka bernama UGM.


Saya tahu uang parkiran itu menghasilkan seorang sarjana UGM.


Saya tahu mata berbinar itu ditatap oleh anaknya ketika tali di topi wisuda dipindahkan letaknya oleh Rektor UGM.


Saya tahu bulan Desember nanti adalah tahun kesepuluh laki-laki renta itu berpulang.


Mengapa?


Karena, seumur hidupnya, laki-laki renta itu saya panggil, Papa.
Dan saya anak tertuanya.


#RSK 150917



Tidak ada komentar:

Posting Komentar