Sabtu, 16 September 2017

SABDA BINA DIRI (89) Jumat, 15 September, 1Samuel 16:19-23

MENDENGAR
Oleh: Reinhard Samah Kansil

Dalam setiap keindahan, selalu ada mata yang memandang.
Dalam setiap kebenaran, selalu ada telinga yang mendengar (Helen Keller).

Daud seorang pelayan.

Era Saul hampir berakhir. Roh Allah undur dari dirinya (ay. 14-18). Dimulailah era Daud, seperti pada bacaan kita hari ini (ay. 19-23). Ayat 21 tertulis: ” Demikianlah Daud sampai kepada Saul dan menjadi pelayannya. Saul sangat mengasihinya, dan ia menjadi pembawa senjatanya”. Seperti seorang Lewi yang berdiri di hadapan jemaat untuk melaksanakan tugas-tugasnya, demikianlah Daud berdiri di hadapan Saul sebagai pelayan istana.

Sementara itu, ayat 23 menunjukkan: “Dan setiap kali apabila roh yang dari pada Allah itu hinggap pada Saul, maka Daud mengambil kecapi dan memainkannya; Saul merasa lega dan nyaman, dan roh yang jahat itu undur dari padanya”. Rupanya Roh Kudus aktif dalam musik Daud sehingga Saul menerima kebebasan sementara dari penindasan roh jahat yang menimpa dirinya sebagai hukuman Allah.

Berdiam diri, dengarlah.

Pasca Saul, setelah Daud diurapi, Allah berkenan memakainya. Konsekuensinya Allah tidak lagi memakai Saul. Era Daud pun dimulai. Urapan Tuhan pada pemimpin bukan hanya menyertai yang bersangkutan tetapi juga kesejahteraan yang dipimpinnya. Cara Tuhan unik. Ia menempatkan Daud di istana sebagai pemain kecapi raja. Pasti banyak hal yang dipelajari Daud akibat kejatuhan seperti yang disaksikannya pada Saul. Apa yang Tuhan ingin Daud pelajari saat itu? Jangan menjauh dari Tuhan! Bagaimana caranya? Dengar-dengaranlah pada Tuhan.

Sebagai pemimpin kita terlalu kerap ‘berbicara’, sehingga lalai mendengar. Dengarlah apa kata Tuhan dan umatmu, dombamu. Kepemimpinan ‘mendengar’ jauh lebih baik dari kepemimpinan ‘merintah’. Sebab, ada tertulis: ‘Barang siapa bertelinga untuk mendengar hendaklah ia mendengar’.

Kadang kita terlalu ‘SIBUK BERKHOTBAH’, sehingga tidak punya waktu banyak MENDENGARKAN Umat. Padahal, Tuhan telah memberikan sebuah lidah, namun dua telinga, sehingga kita, seharusnya MENDENGARKAN dua kali lipat lebih banyak daripada berbicara. Pemimpin yang ‘MENDENGAR’, hendaknya membangun komitmen atasnya.

Saya menyebut komitmen mendengar ini dengan istilah, EARS:
E=Empati. Menempatkan diri pada masalah JEMAAT. Cobalah pakai sepatunya.
A=Ability. Mampu mendengarkan beban terberat JEMAAT. JEMAAT yang membagikan beban akan merasa ringan.
R=Respond. Tanggapi JEMAAT. Beri masukan, nasihat dan dorongan. Bangkitkan sikap positif JEMAAT.
S=Silent. Biasakanlah berdiam diri dan memasang telinga untuk mendengarkan persoalan JEMAAT.

ADALAH BAIK, TUHAN MEMBERI SEPASANG TELINGA, DAN AKAN JAUH LEBIH BAIK LAGI, PABILA KITA FUNGSIKAN UNTUK MENDENGAR APA YANG TUHAN MAU BUAT KITA.

#Salam_WOW
Pkh. 12:10


Sabda Bina Diri (90) Sabtu, 16 September, 1Samuel 18:6-30

PANTANG MENYERAH
Oleh: Reinhard Samah Kansil

Sadarilah bahwa orang yang menghalangi kesuksesan itu ternyata diri kita sendiri.
Maka kita harus mengubah sikap. Apapun yang terjadi jangan pernah menyerah kalah.

Bara benci.

Bacaan kita menggambarkan sebuah kebencian yang membara. Berlangsung permusuhan antara Saul dan Daud. Saul membenci Daud. Kebencian itu adalah buah dari iri hati Saul atas keberhasilan Daud dalam peperangan melawan Filistin (ay. 7-8). Kebencian memembutakan akal sehat dan melumpuhkan kontrol diri. Di mana roh kebencian dipupuk, di sana Roh Kasih sejati tidak mendapat tempat yang layak (ay. 10).

Dalam pada itu, Saul menghalalkan semua cara untuk menyingkirkan Daud. Gagal dengan rencana pertama, Ia lanjutkan jurus mautnya kedua, dengan rencana yang lebih keji dan rendah. Anak perempuannya dijadikan perangkap bagi Daud. Saul berencana mengambil Daud menjadi menantu dan mengangkatnya menjadi panglima perang. Tujuannya adalah mengorbankan Daud dalam perang dengan Filistin. Saul semakin licik, yang menjadi istri Daud bukan Merab (ay. 19), melainkan Mikhal (ay. 20). Tuhan mengatur lain, sehingga Mikhal menjadi istri Daud. Jebakan Saul belum berakhir. Saul yang tidak lagi didiami Roh Tuhan merupakan contoh buruk bagi semua orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Tak kan goyah.

"Tak akan dibiarkan-Nya orang benar itu goyah!" Berbagai jebakan dan perangkap yang direncanakan Saul tak berhasil. Daud lebih unggul dari semua panglima Saul (ay. 30). Melihat ini bukankah kita semakin diyakinkan, bahwa jika menggantungkan seluruh keberadaan kita kepadaNya, tak akan dibiarkan-Nya kita goyah dan kuatir.

Seperti Daud yang pantang menyerah walau di zolimi Saul, perilaku seorang pemimpin sebaiknya mencerminkan karakter pantang menyerah. Pemimpin harus tetap berusaha mencapai tujuan walau hadangan merintang. Jangan melakukan tindakan yang melarikan diri dari tanggungjawab. Ketika seorang pemimpin sudah sampai suatu titik batas pemahaman, titik batas tindakan, titik batas kemampuan kerjanya, saat itulah seorang pemimpin harus terus dan tetap melakukan tindakan meraih tujuan yang hendak dicapai.

Seorang Pemimpin Tidak Pernah Berkompromi Untuk Hal Yang Prinsip Seorang pemimpin tidak dibenarkan berdamai dengan ketidak benaran. Jangan sekali-kali melakukan tawar menawar untuk bertindak dan berpikir yang tidak benar. Seorang pemimpin harus teguh memegang kebenaran sebagai pokok berpikir dan bertindak. Bila menyangkut asas-asas dasar organisasi atau hal pokok sebagai prinsip ajaran misalnya, jangan pernah seorang pemimpin melakukan tawar menawar dan berdamai mengurangi tingkat kebenaran.

KITA BOLEH KALAH. TAPI JANGAN MENYERAH. SELAMA HIDUP INI BELUM SELESAI, PERJUANGAN TAK BOLEH USAI.

#Salam_WOW
Pkh. 12:10

SAAT TEDUH (hari ke 91) Minggu, 17 September, Amsal 12:1-10

JANGAN ADA DUSTA DIANTARA KITA
Oleh: Reinhard Samah Kansil, M.Th

Marilah kita senantiasa berusaha mengutarakan kebenaran.
Hanya kebenaran dan tak ada yang lain selain kebenaran.

Benar tak tergoyahkan.

Tema besar dari 31 pasal Kitab Amsal adalah “Hikmat untuk hidup dengan benar”. Salomo, penulis kitab ini, senang sekali menulis tentang orang benar. Begitupun nas kita kali ini. Orang benar merancangkan keadilan (ay. 5) bukan kejahatan. Di samping itu orang benar sangat peduli kepada mereka yang membutuhkan uluran tangannya karena itu orang benar selalu bermurah hati kepada siapa saja tanpa terkecuali (ay. 10). Bahkan perkataannya pun berguna bagi hidup orang lain (ay. 6).

Namun manusia dikekinian sinis terhadap orang benar. Firman Tuhan jelas menentang keyakinan itu. Orang benar akan tetap merasa aman dan tak tergoyahkan sementara rekannya akan rubuh ketika goncangan-goncangan melanda manusia (ay. 3). Masa kejayaan dan keberadaan orang fasik tidak akan langgeng, namun kejayaan dan keberadaan orang benar malah sebaliknya (ay. 7).

Garis pemisah antara orang benar dan orang fasik sangat jelas walaupun banyak diantara kita sekarang berusaha untuk mengaburkannya. Mereka menyebut tindakan penggelapan atau pemakaian uang gereja dengan `salah prosedur'. Mereka mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan ketidakjujuran di bawah payung `pelayanan' dan persekutuan.

Menutupi kebenaran adalah kekejian.

Tindakan kejahatan dan korupsi yang jelas-jelas melanggar norma-norma dan nilai-nilai etis masyarakat, dibenarkan karena dilakukan sesuai dengan undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan presiden yang sudah disahkan oleh lembaga tertinggi negara. Namun Allah tidak dapat didustai dan diperdayai dengan cara apa pun. Siapa pun kita yang memilih untuk menjadi orang benar yakinlah bahwa berkat sedang dan akan dilimpahkan kepada kita. Sedangkan siapa pun yang menolak kebenaran akan menerima apa yang patut mereka terima.

Coba perhatikan alasan-alasan orang yang melakukan klaim asuransi mobilnya, dibawah ini:

"Sebuah mobil, entah dari mana, tiba-tiba nyelonong dan menabrak mobil saya. Kemudian mobil itu kabur."

"Saya sudah berpengalaman menyetir mobil selama 40 tahun. Hanya saja saat itu saya mengantuk ketika mengemudikan mobil dan terjadilah kecelakaan."

"Saya bergerak meninggalkan tepi jalan, menoleh sekilas kepada ibu mertua saya, dan menabrak pembatas jalan."

"Pejalan kaki itu bingung hendak berjalan ke mana, sehingga akhirnya saya menabraknya."

"Tiang telepon itu tiba-tiba sudah di hadapan saya. Saya telah berusaha membanting setir, tetapi tiang itu masih juga kena bumper depan mobil saya."

"Orang itu sudah berada di tengah jalan. Saya sudah membanting setir beberapa kali, tetapi ia masih tertabrak juga."

"Penyebab tidak langsung kecelakaan ini adalah seorang pria kecil bermulut besar yang mengendarai mobil kecil."

"Alasan-alasan" diatas dapat membuat kita tersenyum, dan beberapa di antaranya mungkin disengaja. Namun, berbagai alasan itu juga mengingatkan, bahwa kita cenderung menutupi kebenaran, terutama jika hal itu menguntungkan kita. Kitab Amsal mengajarkan bahwa "orang yang dusta bibirnya adalah kekejian bagi Tuhan”.

DUSTA ADALAH UPAYA PENGECUT UNTUK KELUAR DARI MASALAH

#Salam_WOW
Pkh. 12:10