Sabtu, 04 November 2017

Sabda Bina Diri, (hari ke 130) Minggu, 5 November, Hagai 1:1-11


RUMAH PRIBADI
Oleh: Reinhard Samah Kansil

Tanda penyertaan Tuhan dalam hidup kita
adalah hidup kita menjadi berkat bagi banyak orang.

Bait Allah yang terabaikan.

Bacaan kita hari ini melukiskan Tuhan berfirman dengan perantaraan Hagai (ay. 1). Bangsa Israel mengatakan, belum tiba waktunya membangun rumah Tuhan. Ini adalah alasan yang disampaikan oleh bangsa ini supaya tidak membangun kembali Bait Allah (ay, 2). Menurut cara berpikir mereka, waktunya belum tepat. Sebenarnya, akar kesulitannya ada pada mereka, bukan pada keadaan di luar atau faktor waktu. Alasannya sudah jelas, mereka bukan menyatakan bahwa pekerjaan itu tidak boleh dilaksanakan, melainkan bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk melaksanakannya.

Tetapi pada ayat 3-4, tertulis, Apakah sudah tiba waktunya bagi kamu? Hagai bertanya kepada para pemuka apakah waktunya tidak menguntungkan hanya jika menyangkut hal-hal mengenai Allah. Aktivitas mereka dalam urusan pribadi (seperti membangun rumah) memberi kesan yang sama sekali berbeda. Alangkah berlawanan Bait Allah yang terpencil dan tersia-siakan bersebelahan dengan tempat tinggal pribadi yang penuh hiasan dari orang-orang buangan yang sudah kembali! Pertanyaan sang nabi, yang disampaikan dengan bagus sekali, menunjukkan secara gamblang sikap acuh tak acuh, sifat egois, dan ketidaktaatan bangsa itu. Rumah-rumahmu yang dipapani (ay. 4), Ini adalah rumah yang diberi hiasan papan, diperlengkapi secara menyeluruh. Pembingkaian dinding dengan kayu aras bisa ditemukan di istana-istana raja. Karena kayu-kayu mahal tidak biasa ada di Yehuda, maka penggunaan kayu-kayu tersebut merupakan pertanda kemewahan.

Panitia pembangunan rumah pribadi.

Belajar dari bacaan kita, begitupun kita hari ini, ada banyak pejabat gereja yang berkonsentrasi penuh membangun rumah pribadinya dengan alasan akan pensiun, sementara pembangunan Gereja menjadi tertunda atau sama sekali tak tersentuh. Bahkan, pembangunan rumah pribadi dibantu dengan pembentukan panitia khusus. Akibatnya, pembangunan Gereja terabaikan.

Orang Yehuda yang pertama kali tiba di Yerusalem segera berupaya membangun kembali rumah Allah. Mereka berhasil meletakkan fondasi, namun halangan, masalah, dan kesulitan tak kunjung habis. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa saatnya tidak tepat untuk membangun rumah Allah. Mereka tidak lagi beriman bahwa mereka harus menyelesaikan pembangunan, sehingga mereka tidak lagi memprioritaskan pembangunan rumah Allah.

Apakah dengan memprioritaskan Allah secara otomatis hidup Kristen berkelimpahan? Inilah prinsip Yehuda. Memang, keadaan mereka disebabkan karena mereka mengesampingkan Allah. Namun kehidupan Kristen bukanlah prinsip matematika yang selalu dapat diketahui hasilnya dengan pasti. Allah kita adalah Allah yang berdaulat. Dia berhak memberi dan menahan berkat. Jika kita mengesampingkan Dia dan gagal memberikan prioritas yang menjadi milik-Nya, berarti kita telah meninggalkan suatu sumber yang sangat vital bagi kehidupan dan keberhasilan kita.

Membangun rumah pribadi tidak salah. Tak bermasalah. Sah-sah saja. Tetapi karena hal itu, lalu pembangunan rohani maupun fisik Gereja terabaikan, itu yang menjadi masalah
Bagi pejabat Gereja yang sibuk membangun rumah bagi dirinya sendiri, renungkanlah hal ini: “Dibutuhkan ketetapan hati untuk memilih dan menempatkan prioritas dalam kehidupan Kristen. Prioritas itu sudah ada, yaitu Allah, Sang Sumber berkat. Tetapkanlah hati untuk setia memprioritaskan Allah dalam segala keberadaan kita”.

JADI, DALAM MENGHADAPI SEGALA HAL, TUJUKAN HARAPAN PADA TUHAN KARNA SUMBER PERTOLONGAN DATANG DARI TUHAN.

#Salam_WOW

Note:
Sumber renungan ini adalah buku karangan saya dibawah ini.
Tidak dijual bebas. Bisa pesan pada saya. Terima kasih.


Kamis, 02 November 2017

Sabda Bina Diri (hari ke 138) Minggu, 12 November, Ezra 2:59-63


ZONA NYAMAN
Oleh: Reinhard Samah Kansil

Hidup adalah perjuangan yang penuh resiko dan tidak boleh berhenti.
Semakin berjuang semakin banyak lagi yang harus di bayar mahal.

Dipulihkan untuk memulihkan.

Kitab Ezra mencatat pemulihan orang Yahudi setelah 70 tahun pembuangan dengan membawa mereka kembali ke tanah air mereka. Pemulihan kaum sisa buangan, terjadi dalam tiga tahap. Pada tahap pertama (538 SM) 50.000 orang kembali di bawah pimpinan Zerubabel dan; pada tahap kedua (457 SM) lebih dari 1.700 orang laki-laki (tambah wanita dan anak-anak, berjumlah 5.000-10.000 orang Yahudi) berangkat pulang di bawah pimpinan Ezra; dan pada tahap ketiga (444 SM) Nehemia memimpin kelompok lain lagi. Perhatikan bahwa rombongan pertama pada tahun 538 kembali ke Yerusalem sekitar 70 tahun setelah pengangkutan pertama ke dalam pembuangan. Sekitar dua tahun setelah kerajaan Babel dikalahkan dan diganti kerajaan Persia (539 SM), dimulailah pengembalian orang Yahudi ke tanah air mereka. Kitab Ezra mencatat tahap pertama dan kedua dari pemulihan itu, yang melibatkan tiga raja Persia: Koresy, Darius, dan Artahsasta.

Sementara itu, bacaan kita menyebutkan: “Adanya tiga keluarga rakyat biasa (ay. 59-60) dan tiga keluarga imam (ay. 61-62) yang tidak jelas asal-usulnya sehingga secara resmi mereka tidak diikutsertakan sekalipun diizinkan untuk ikut pulang bersama dengan orang-orang Yahudi lainnya di dalam perjalanan itu. Dalam pada itu, penyebutan ‘Kepala daerah’, pada ayat 63, mengacu kepada gubernur, yaitu Zerubabel.  Urim dan Tumim pada ayat yang sama, disebutkan sebagai bagian dari jubah resmi seorang imam besar. Urim dan Tumim dipakai dengan cara tertentu untuk mengetahui kehendak Allah. Harapan sungguh-sungguh Zerubabel (dan juga harapan semua orang Yahudi yang saleh) agar keadaan yang menyedihkan tersebut tidak berlanjut secara berkepanjangan, tentu tidak terpenuhi, dan persoalan enam keluarga ini tidak terpecahkan.

Kenikmatan, kemapanan dan kenyamanan.

Orang Yahudi mau tetap tinggal di Babilonia karena mereka sudah berhasil dalam perdagangan dan usaha mereka. Dengan kata lain, "buat apa kembali ke Yerusalem, negeri yang membutuhkan waktu lama untuk dibangun kembali, bila sudah memiliki kehidupan yang mapan di negeri orang?" Karena itu hanya orang-orang yang digerakkan hatinya oleh Allah yang berkomitmen untuk kembali. Mungkin yang tinggal, menganggap keputusan yang mereka ambil adalah tepat, karena faktor kenyamanan; tetapi nama mereka tidak dicantumkan dalam firman Allah. Sebaliknya, mereka yang kembali ke Yerusalem mendapatkan berkat yang tidak dapat dinilai dengan uang dan harta, yaitu nama mereka tercantum dalam firman Allah dan menyaksikan pembangunan kembali Bait Allah. Manakah yang kita pilih?

Mengapa mereka memilih untuk tetap tinggal di Babilonia? Kenikmatan dan kemapanan sering menutup hati dan mata terhadap pimpinan Tuhan. Biarlah hati kita selalu terbuka terhadap pimpinan Tuhan, sehingga apabila Ia memanggil dan menggerakkan hati untuk melakukan pekerjaan dan kehendak-Nya, maka dengan penuh kerelaan kita meresponinya.

Gereja kita baru saja usai pesta gerejawi (baca: organisasi), Pilpres. Ini bukan pemilihan presiden. Ini adalah pemilihan presbiter. Ada banyak kekecewaan, ada banyak sungut dan gerutu. Kenapa saya sudah lebih empat periode, kok masih tetap Diaken? Mengapa saya sudah Penatua kok bisa ‘turun’ menjadi Diaken. Bahkan ada Presbiter yang sudah waktunya berhenti, tapi masih minta perpanjangan waktu. Jawabnya sama seperti orang Yahudi yang sudah nyaman tinggal di Babilonia. Mereka yang sudah nyaman disuatu titik akan tidak mau meninggalkan titik nyaman itu. Atau karena tidak nyaman di titik Diaken ingin nyaman di titik Penatua.

Memang, ibarat bahtera, pelayanan kita terasa nyaman bila berada di dermaga.  Tapi bukan untuk itu maksud bahtera dibuat. Bahtera pelayanan kita haruslah menjelajah, berpetualang sepanjang perjalanan. Jangan nyaman di dermaga. Tempuhlah resiko, agar kelak pelayanan kita  mewariskan warna warni  indah.

Renungkan pesan ini: Bukalah hati dan persilakan Tuhan menggenapkan rencana-Nya 
melalui kita. Apapun jabatan gerejawi kita. Bahkan, sekalipun tanpa jabatan itu.

DALAM TIAP KELELAHAN, DIA BERIKAN SANDARAN. 
DALAM TIAP KELEMAHAN, DIA BERIKAN KEKUATAN. 
DALAM TIAP KESULITAN, DIA BERIKAN PENGHARAPAN. 
DALAM TIAP DOA, PASTI ADA JAWABAN.

#Salam_WOW
 


Note:
Sumber renungan ini adalah Buku saya dibawah ini:
Tidak dijual bebas. Pesan langsung ke saya.

Terima kasih.
 
 


Rabu, 01 November 2017

Sabda Bina Diri (hari ke 138) Minggu, 12 November, Ezra 2:59-63


ZONA NYAMAN 

Oleh: Reinhard Samah Kansil


Hidup adalah perjuangan yang penuh resiko dan tidak boleh berhenti.
Semakin berjuang semakin banyak lagi yang harus di bayar mahal.

Dipulihkan untuk memulihkan.

Kitab Ezra mencatat pemulihan orang Yahudi setelah 70 tahun pembuangan dengan membawa mereka kembali ke tanah air mereka. Pemulihan kaum sisa buangan, terjadi dalam tiga tahap. Pada tahap pertama (538 SM) 50.000 orang kembali di bawah pimpinan Zerubabel dan; pada tahap kedua (457 SM) lebih dari 1.700 orang laki-laki (tambah wanita dan anak-anak, berjumlah 5.000-10.000 orang Yahudi) berangkat pulang di bawah pimpinan Ezra; dan pada tahap ketiga (444 SM) Nehemia memimpin kelompok lain lagi. Perhatikan bahwa rombongan pertama pada tahun 538 kembali ke Yerusalem sekitar 70 tahun setelah pengangkutan pertama ke dalam pembuangan. Sekitar dua tahun setelah kerajaan Babel dikalahkan dan diganti kerajaan Persia (539 SM), dimulailah pengembalian orang Yahudi ke tanah air mereka. Kitab Ezra mencatat tahap pertama dan kedua dari pemulihan itu, yang melibatkan tiga raja Persia: Koresy, Darius, dan Artahsasta.

Sementara itu, bacaan kita menyebutkan: “Adanya tiga keluarga rakyat biasa (ay. 59-60) dan tiga keluarga imam (ay. 61-62) yang tidak jelas asal-usulnya sehingga secara resmi mereka tidak diikutsertakan sekalipun diizinkan untuk ikut pulang bersama dengan orang-orang Yahudi lainnya di dalam perjalanan itu. Dalam pada itu, penyebutan ‘Kepala daerah’, pada ayat 63, mengacu kepada gubernur, yaitu Zerubabel.  Urim dan Tumim pada ayat yang sama, disebutkan sebagai bagian dari jubah resmi seorang imam besar. Urim dan Tumim dipakai dengan cara tertentu untuk mengetahui kehendak Allah. Harapan sungguh-sungguh Zerubabel (dan juga harapan semua orang Yahudi yang saleh) agar keadaan yang menyedihkan tersebut tidak berlanjut secara berkepanjangan, tentu tidak terpenuhi, dan persoalan enam keluarga ini tidak terpecahkan. 

Kenikmatan, kemapanan dan kenyamanan.

Orang Yahudi mau tetap tinggal di Babilonia karena mereka sudah berhasil dalam perdagangan dan usaha mereka. Dengan kata lain, "buat apa kembali ke Yerusalem, negeri yang membutuhkan waktu lama untuk dibangun kembali, bila sudah memiliki kehidupan yang mapan di negeri orang?" Karena itu hanya orang-orang yang digerakkan hatinya oleh Allah yang berkomitmen untuk kembali. Mungkin yang tinggal, menganggap keputusan yang mereka ambil adalah tepat, karena faktor kenyamanan; tetapi nama mereka tidak dicantumkan dalam firman Allah. Sebaliknya, mereka yang kembali ke Yerusalem mendapatkan berkat yang tidak dapat dinilai dengan uang dan harta, yaitu nama mereka tercantum dalam firman Allah dan menyaksikan pembangunan kembali Bait Allah. Manakah yang kita pilih?

Mengapa mereka memilih untuk tetap tinggal di Babilonia? Kenikmatan dan kemapanan sering menutup hati dan mata terhadap pimpinan Tuhan. Biarlah hati kita selalu terbuka terhadap pimpinan Tuhan, sehingga apabila Ia memanggil dan menggerakkan hati untuk melakukan pekerjaan dan kehendak-Nya, maka dengan penuh kerelaan kita meresponinya.

Gereja kita baru saja usai pesta gerejawi (baca: organisasi), Pilpres. Ini bukan pemilihan presiden. Ini adalah pemilihan presbiter. Ada banyak kekecewaan, ada banyak sungut dan gerutu. Kenapa saya sudah lebih empat periode, kok masih tetap Diaken? Mengapa saya sudah Penatua kok bisa ‘turun’ menjadi Diaken. Bahkan ada Presbiter yang sudah waktunya berhenti, tapi masih minta perpanjangan waktu. Jawabnya sama seperti orang Yahudi yang sudah nyaman tinggal di Babilonia. Mereka yang sudah nyaman disuatu titik akan tidak mau meninggalkan titik nyaman itu. Atau karena tidak nyaman di titik Diaken ingin nyaman di titik Penatua.

Memang, ibarat bahtera, pelayanan kita terasa nyaman bila berada di dermaga.  Tapi bukan untuk itu maksud bahtera dibuat. Bahtera pelayanan kita haruslah menjelajah, berpetualang sepanjang perjalanan. Jangan nyaman di dermaga. Tempuhlah resiko, agar kelak pelayanan kita  mewariskan warna warni  indah.

Renungkan pesan ini: Bukalah hati dan persilakan Tuhan menggenapkan rencana-Nya melalui kita. Apapun jabatan gerejawi kita. Bahkan, sekalipun tanpa jabatan itu.

DALAM TIAP KELELAHAN, DIA BERIKAN SANDARAN. 
DALAM TIAP KELEMAHAN, DIA BERIKAN KEKUATAN. 
DALAM TIAP KESULITAN, DIA BERIKAN PENGHARAPAN. 
DALAM TIAP DOA, PASTI ADA JAWABAN.

#Salam_WOW 

Note:
Sumber renungan ini adalah Buku saya dibawah ini:
Tidak dijual bebas. Pesan langsung ke saya.

Terima kasih.