Selasa, 31 Oktober 2017

Sabda Bina Diri (hari ke 127), Rabu, 1 November, Lukas 10:29-37

SIAPAKAH SESAMA?
Oleh: Reinhard Samah Kansil

Terbaik dari cinta adalah memberi. Terbaik dari kasih adalah menyayangi. Terbaik dari hati adalah ketulusan. Dan terbaik yang ada pada kita, persembahkanlah diri kita untuk Tuhan, karena Ia terlebih dahulu telah memberikan diri-Nya dengan berkorban bagi kita.

Praanggapan.

Bacaan kita melukiskan, ahli Taurat itu mengajukan pertanyaan (ay. 29) yang luar biasa penting kepada Yesus tentang siapakah sesama manusia itu?. Sayang ia bertanya dengan motivasi salah dan praanggapan keliru. Ia bertanya bukan karena ia sungguh sedang menggumuli pertanyaan itu tetapi karena ia ingin mencobai Yesus. Ia tidak sedang mencari jawaban sebab ia sudah punya pranggapan keliru.

Lalu, lahirlah jawab menakjubkan dari Yesus tentang perumpamaan orang Samaria yang welas asih. Pertama, orang-orang yang dalam praanggapan si ahli Taurat pasti akan berbuat benar, ternyata tidak. Kedua, orang yang dalam praanggapan si ahli Taurat pasti salah, ternyata berbuat benar sebab memiliki kasih. Ketiga, ahli Taurat itu seharusnya tidak bertanya siapakah sesamanya tetapi bertanya apakah ia sedang menjadi sesama bagi orang lain.

Orang terhormat vs orang hina dina.

Kita belajar dua hal dari cerita ini. Pertama, korban perampokan itu diabaikan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi sahabat-sahabatnya, yang bukan saja sebangsa dan seagama, tetapi juga seorang imam dan yang satu lagi seorang Lewi, tokoh-tokoh masyarakat dengan kedudukan penting. Mereka bahkan dianggap suci oleh orang. Tugas mereka mewajibkan mereka harus bersikap lemah-lembut dan penuh belas kasihan (Ibr. 5:2). Mereka mengajar orang lain untuk membebaskan mereka yang diangkut untuk dibunuh, tetapi mereka sendiri tidak melakukannya. Imam dan Orang Lewi mendengar rintihannya dan tidak bisa tidak pasti tahu bahwa jika tidak segera ditolong, ia pasti akan tewas. Orang Lewi itu bukan saja menoleh kepadanya, tetapi datang ke tempat itu dan melihat orang itu (ay. 32). Namun, keduanya melewatinya dari seberang jalan. Ketika melihat kejadian yang menimpa orang itu, mereka menjaga jaraknya sejauh mungkin, seakan-akan mau berdalih, "Sungguh, kami tidak tahu hal itu." Sungguh menyedihkan bila orang-orang yang seharusnya menjadi teladan kemurahan hati justru berperilaku sangat jahat. Mereka yang seharusnya menunjukkan rahmat Allah dan menyatakan belas kasihan terhadap orang lain, malah menahan diri.

Kedua, orang Samaria adalah suku bangsa yang paling dianggap hina dan dibenci oleh orang-orang Yahudi yang tidak mau berurusan dengan mereka. Orang Samaria ini masih memiliki perikemanusiaan dalam dirinya (ay. 33). Imam itu mengeraskan hatinya terhadap salah seorang dari bangsanya sendiri, tetapi orang Samaria itu membuka hati terhadap salah seorang dari bangsa lain. Ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan dan sama sekali tidak mempermasalahkan kebangsaannya. Walaupun korbannya seorang Yahudi, dia tetap saja seorang manusia, manusia yang berada dalam penderitaan, dan orang Samaria itu telah diajar untuk menghormati semua orang. Dia tidak tahu kapan kejadian yang menimpa orang malang tersebut akan menimpa dirinya sendiri. Oleh sebab itu ia menaruh iba terhadapnya, sama seperti dia ingin dikasihani seandainya mengalami kejadian seperti ini. Bahwa kasih sebesar ini bisa ditemukan dalam diri seorang Samaria, indah bukan?. Belas kasihan yang ada pada diri orang Samaria ini bukanlah belas kasihan yang berpangku tangan. Baginya, belumlah cukup untuk sekadar berkata, "Semoga cepat sembuh, semoga ada yang menolongmu", tetapi saat hatinya tergerak, ia mengulurkan tangannya kepada orang malang yang miskin ini. Lihatlah betapa baik hatinya orang Samaria ini.

Saudara seorang Pendeta? Penatua atau Diaken? Atau pengurus unit missioner? Janganlah seperti Imam dan orang Lewi itu. Janganlah sebagai pejabat gereja atau pengurus, saudara tidak memiliki belas kasihan. Welas asih tak ada pada diri saudara. Jangan sampai Tuhan memakai orang yang kecil. Orang yang dipandang sebelah mata, untuk menjadi saluran berkat bagi orang lain yang membutuhkan. Persis seperti Tuhan menggerakkan hati orang Samaria yang hina dina itu.

Bagi pejabat Gereja dan pengurus Gereja, renungkanlah hal ini: “Orang yang mempraktikkan kasih seluas kasih Allah menunjukkan bahwa ia memiliki hubungan dengan Allah dan hidup kekal. Sikap welas asih dan peduli harus ditumbuhkan agar engkau menjadi sesama bagi orang-orang di sekitarmu.

TUHAN MENGUTUS KITA KE DALAM DUNIA INI UNTUK MELAKUKAN SESUATU YANG MENYENANGKAN HATI-NYA. SENANGKANLAH TUHAN MELALUI SELURUH ASPEK HIDUP KITA.
 
#Salam_WOW

Note:
Sumber renungan ini adalah Buku saya (208 hlm) dibawah ini:
Tidak dijual bebas. Pesan langsung ke saya (WA/SMS: 081808882611).
Terima kasih.