Jumat, 18 Agustus 2017

Sabda Bina Diri - Sabtu, 19 Agustus 2017 (1 Kor. 16:16-18)


HORMAT MENGHORMATI HARGA MENGHARGAI
Oleh: Reinhard Samah Kansil

Karena kita saling membutuhkan, maka saling menghargailah kita.

Dalam bacaan kita, Rasul Paulus memberikan beberapa petunjuk khusus bagaimana jemaat Korintus harus bersikap terhadap sebagian orang yang secara menonjol sudah melayani kepentingan Kristus di antara mereka. Ia menyebutkan Stefanus, Fortunatus, dan Akhaikus, sebagai orang yang datang kepadanya dari jemaat Korintus. Yang digambarkannya tentang mereka adalah bahwa mereka melengkapi kekurangan jemaat bagi dia, dan dengan demikian menyegarkan rohnya dan roh mereka (ay. 17-18). Mereka memberinya gambaran yang lebih sempurna tentang keadaan jemaat dengan perkataan mulut mereka daripada yang bisa diperolehnya melalui surat mereka, dan dengan demikian itu sangat menenangkan pikirannya, dan sekembalinya mereka dari dia, akan menenangkan pikiran jemaat di Korintus juga.

Kita berhutang hormat.

Ia menasihati supaya mereka menaati orang-orang yang demikian dan setiap orang yang turut bekerja dan berjerih payah (ay. 16). Ini jangan dipahami sebagai tunduk kepada atasan seperti dalam arti yang sesungguhnya, tetapi sebagai pengakuan secara sukarela akan berharganya orang-orang itu. Mereka secara khusus berutang hormat pada orang-orang ini, dan orang-orang itu harus mereka segani. Perhatikanlah, sungguh mulia sifat mereka yang melayani orang-orang kudus dan bekerja keras untuk membantu keberhasilan Injil, yang mendukung dan mendorong hamba-hamba Kristus yang setia, dan berusaha membuat mereka semakin berguna. Orang-orang seperti itu harus dihargai dan dihormati.
Paulus menyadari bahwa dirinya bukan rasul super. Ia tidak serba bisa, juga tidak akan hidup selamanya. Itu sebabnya ia perlu melatih dan memberi kesempatan bagi Timotius dan digembirakan oleh kedatangan Stefanus. Jika kita bertanya-tanya apa rahasia kebesaran Paulus, jawabnya ialah: ia menyadari kekecilan dirinya dan karena itu membuka diri untuk bekerja sama dengan banyak rekan pelayanan dan memberi diri untuk pelayanan bagi generasi muda.

Yang tua menghargai yang muda.

Pernahkah Anda merasakan bahwa apa yang dilayankan Gereja kurang memberikan kemampuan iman bagi warganya dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari? Apabila pelayanan Gereja hanya bergantung pada bentuk verbal (khotbah) saja sekitar 30 menit pada hari Minggu, maka wajar bila jangkauan pelayanan Gereja menjadi sangat terbatas. Selain berkhotbah, Paulus juga mengunjungi jemaat-jemaat, hidup bersama mereka, mengenal mereka secara akrab. Tidak heran bila surat-suratnya terasa sangat kontekstual dan mengena.

Begitupun kita, dituntut juga rasa saling menghormati dalam pelayanan. Sesama pelayan hendaknya saling menghargai. Yang tua menghargai yang muda. Yang senior menghormati yang yunior.

Di balik setiap keberhasilan pelayanan selalu ada orang-orang yang lebih muda yang mendoakan, merintis, menindaklanjuti kerja-kerja pelayanan bersama.

SEBAGAI YANG LEBIH TUA, BERILAH KESEMPATAN SELUAS-LUASNYA KEPADA YANG LEBIH MUDA, DALAM PELAYANAN. ITULAH KESEJATIAN SALING MENGHARGAI DAN MENGHORMATI.

#Salam_WOW  
 

Pemesanan buku ini, hubungi: 0819 3255 1765 (WA/SMS)





Sabda Bina Diri - Minggu, 20 Agustus 2017 (Amos 1:1-8)



SIAPAPUN TAK MAMPU MENGHALANGI KUASA-NYA
Oleh: Reinhard Samah Kansil

Soekarno berkata: “Bangunlah suatu dunia dimana semua bangsanya hidup dalam damai dan persaudaraan”.

Amos menggambarkan kata mengaum (ay. 2) sebagai auman singa waktu melompati mangsanya. Ini menunjukkan akan segera berlangsungnya penghakiman; karena waktu sang gembala mendengar auman itu, ia tahu bahwa serangan telah terjadi, dan sudah terlambat untuk menyelamatkan domba. Kata itu merefleksikan latar belakang Amos, yang sebagai gembala telah terbiasa dengan kengerian lompatan singa, dan memakainya secara simbol untuk kedatangan penghakiman Tuhan Dari Sion dan dari Yerusalem. Bagi pemuja-pemuja sejati Tuhan, istilah-istilah ini menunjukkan pusat teokrasi serta pusat kehidupan bangsa. Keringlah padang-padang gembalaan. Ini kembali merefleksikan kehidupan Amos sebagai gembala. Layulah puncak gunung Karmel. Karmel berarti tanah kebun, yaitu tanah yang paling subur di negeri itu. Layunya Karmel menunjukkan betapa hebat musim kering yang akan datang itu.

Tuhan melawan penggunaan kekerasan.

Teks Amos hari ini mengungkapkan bahwa ada kuasa dan pemerintahan yang lebih tinggi, yang kekuatan dan kekuasaannya tidak dapat dilampaui oleh pemerintahan negara super power sekalipun. Bahkan bangsa-bangsa di seluruh dunia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan mereka, dan tunduk pada kuasa dan pemerintahan Allah. Hal itu telah Allah tetapkan (ay. 3, 6). Bila kedapatan ada bangsa yang melakukan perbuatan jahat, Allah tidak kompromi. Siapa pun tidak akan mampu menghalangi kehendak- Nya. Ungkapan "tiga bahkan empat perbuatan jahat" menunjuk bahwa Allah tidak bertindak semena-mena tetapi adil karena alasan yang benar. Kejahatan yang dibongkar Amos ini kebanyakan adalah kejahatan politik seperti dehumanisasi (menghilangkan harkat manusia), membantai dan meniadakan keberadaan bangsa, suku, atau penganut kepercayaan lain dengan kekerasan dan lain-lain (ay. 4-5, 7-8). Tuhan melawan penggunaan kekerasan seperti itu.

Firman Tuhan menjunjung tinggi sikap kasih persaudaraan. Juga rekonsiliasi. Kita perlu menyadari bahwa bangsa-bangsa di Timur Tengah hancur, karena tindakan dehumanisasi berkepanjangan. Beberapa hal penting dapat kita wujudkan apabila kita tidak ingin seperti mereka.. Kembalikan semangat kasih persaudaraan. Hapuslah segala bentuk dan sikap mengotak-kotakkan bangsa hanya karena doktrin atau SARA. Seluruh komponen bangsa harus secara bersama memperjuangkan dan menghargai kehidupan.

Menghukum nir kekerasan.

Dalam skala yang lebih kecil, kita sebagai orang percaya dan atau sebagai gereja, perlu juga memahami, kekerasan sering terjadi disekeliling kita. Sebagai Pendeta, Gembala, Pastor kita kadang melakukan kekerasan rohani kadang jasmani, terhadap majelis, pengerja atau Presbiter. Sebaliknya, kita yang majelis, pengerja, presbiter kadang melakukan hal itu kepada pengurus Pelkat. Bahkan pengurus Pelkat kepada anggotapun melakukan hal yang sama.

Ini cerita tentang seorang anak muda yang dihukum dengan tidak melalui cara kekerasan: ” Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, di tengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.

Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya untuk mengerjakan agenda yang lama tertunda, menserviskan mobil di bengkel.

Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berkata, "Ayah tunggu kau di sini jam 5 sore. Lalu kita pulang." Segera saja saya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh ayah saya. Kemudian, saya pergi ke bioskop. Saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam menunjukkan pukul 17:30, langsung saya berlari menunju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 18:00.

Dengan gelisah ayah menanyai saya, "Kenapa kau terlambat?" Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton film John Wayne, sehingga saya menjawab, "Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu." Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan, kini ayah tahu kalau saya berbohong.

Lalu ayah berkata, "Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik."

Lalu, dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami oleh ayah hanya karena kebohongan yang bodoh yang saya lakukan.

Sejak itu, saya tidak pernah akan berbohong lagi. Seringkali saya berpikir mengenai episode ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai menghukum tanpa kekerasan?

Saya kira tidak. Jika Ayah menghukum saya secara fisik, mungkin setelah itu saya akan merasa kesakitan tetapi akan melakukan hal yang sama lagi di lain waktu.

Namun, dengan satu hukuman tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, saya selalu mengingatnya, seolah kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan hukuman tanpa kekerasan”.


Renungkan ini, seperti Tuhan menuntut tanggung jawab kehidupan persaudaraan diantara bangsa-bangsa dengan melakukan rekonsiliasi, begitu jugalah Tuhan menuntut kepada kita dalam apapun jabatan gerejawi yang kita emban, untuk saling mempraktekkan kasih persaudaraan diantara kita dan anggota jemaat dimana kita melayani dan dilayani.  

TUHAN, AJARKU MENGHUKUM TANPA KEKERASAN, DAN DENGAN KASIH PERSAUDARAAN.

#Salam_WOW 


Note:
Pemesanan buku ini, 

dapat menghubungi: 0819 3255 1765 (WA/SMS)