Minggu, 08 Oktober 2017

HIDUP MENGHASILKAN BUAH (Filipi 1:18-26)


Nas: Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (Filipi 1:21).

Apa sebabnya Paulus dapat optimis bahkan bersukacita di tengah penderitaannya, khususnya pemenjaraan yang menimpa dirinya? Bukankah ada kemungkinan ia akan dieksekusi oleh karena imannya? 

Paulus tidak menguatirkan mengenai keselamatannya. Dia percaya bahwa kesudahan semua penderitaan dan penjara itu adalah keselamatan dirinya. Entah keselamatan dalam arti ia dibebaskan dari pemenjaraan fisik maupun keselamatan surgawi (ayat 19). Dirinya adalah pemberian dan milik Kristus, untuk Dia saja -- hidup atau mati -- Paulus mengabdikan dirinya. 

Yang Paulus kuatirkan ialah bagaimana hidupnya tetap dapat mempermuliakan Tuhan baik ketika ia ada di dalam penjara, maupun pada masa mendatang entah dalam keadaan apapun dia, bahkan sampai pada saat kematiannya (ayat 20). Bagi Paulus persoalannya bukan mati atau hidup, asalkan kedua-duanya memuliakan Tuhan. Di satu sisi memang kematian akan menyelesaikan perkara penderitaan dan kesusahan di dunia ini. Kematian berarti permulaan dari menikmati secara penuh persekutuan keselamatan yang telah Kristus kerjakan (ayat 23). Namun, di sisi lainnya Paulus melihat kebutuhan dan sekaligus panggilan Tuhan untuk tetap berkarya di dalam dunia ini. Paulus melihat kebutuhan konkret jemaat Filipi dan pelayanan mereka. Oleh sebab itu Paulus memutuskan untuk taat pada kehendak Allah yaitu tinggal di dalam dunia ini untuk hidup menghasilkan buah (ayat 22, 24-25). 

Kematian bukan pelarian bagi Paulus. Selama ia hidup, ia harus memberi buah: menjadi berkat bagi orang-orang yang kepadanya Tuhan pertemukan. Kalau tiba waktunya kematian menjemput, Paulus tahu ia akan ke sorga mulia. Namun, sekarang selagi ia hidup berarti bekerja dan melayani Tuhan. 

Dia berjalan kearah kerumunan tempat prosesi ibunya dikuburkan dengan langkah tegap penuh kepercayaan diri tanpa sedikitpun bekas air mata di pipinya.
Orang-orang melihatnya, menyalaminya, dan mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya wanita tercinta yang telah membesarkannya. Hampir tak ada sedikitpun rasa kesedihan di wajahnya.

Dan senyumnya yang ramah itu menimbulkan tanda tanya di benak para pelayat, termasuk saudara-saudara kandungnya.

Dia berdiri di tepi kuburan menatap liang lahat seolah-olah ingin mengukur luasnya. Lalu masuk kedalam, membantu pemakaman ibunya meski tanah basah mengotori jas yang dikenakannya.

Sesekali dia tersenyum menatap wajah ibunya yang kaku dan tak bisa lagi membuka matanya. Dan sekali lagi, tidak adanya kesedihan diwajahnya menimbulkan pertanyaan, ‘Ada apa antara dia dan ibunya?’.

Orang-orang telah pergi meninggalkannya yang masih berdiri di tepi kuburan sang ibu. Saudarinya pun telah dimintanya untuk pergi duluan mengurus suami dan anak-anaknya.

Sementara dia tetap berdiri disana, sendirian, namun sekali lagi, tanpa sedikitpun kesedihan. Sesekali dia tersenyum seakan ibu melihatnya dari dalam.

Boleh saya bertanya, nak?” Sapaan seorang pimpinan Gereja dari belakang mengagetkannya.

Dia menoleh kebelakang dan mengangguk kecil sambil tersenyum.

Bapak itu lalu berdiri disebelah kanannya, “Saya hanya ingin meluruskan rasa penasaran warga padamu, ada apa antara kamu dan ibumu?

Maksudnya pak?

Yaaah, kami tidak melihat sedikitpun rasa sedih di wajahmu.

Sekali lagi dia tersenyum dan menatap pusara sang ibu, “Ayahku meninggal saat aku masih remaja, dan dia ayah yang sangat baik meski bekerja pas-pasan. Dia melindungi kami dari apapun yang merusak lahir dan batin kami. Tapi aku adalah anak pembangkang.

Di hari terakhir ayahku, aku bertengkar hebat dengannya dan bahkan meyumpahinya hanya karena dia tak membelikan aku handphone yang kuinginkan. Aku takkan lupa saat ayahku selesai dikuburkan, pak ustadz.

Ibuku menangis setiap harinya, tubuhnya melemah dan mengurus. Namun dia tak berhenti berkeliling menjajakan bakwan keseluruh kampung meski beberapa bakwan yang terjual itu terasa asin bercampur dengan air matanya.”

Aku melihatnya setiap saat pak, dan aku tidak bisa berhenti menyalahkan diriku yang telah membawa kekecewaan di wajah ayahku saat dia meninggal. Sejak itu, aku meyakinkan diriku bahwa suatu hari nanti ibuku akan mengalami hal yang sama. Dia akan meninggal, dia akan meninggal, dan dia akan meninggal. Dan itu hanya masalah waktu.

Pikiran itu terus menghantuiku dan memaksaku harus melakukan sesuatu. Aku tak bisa lagi melakukan kesalahan yang sama seperti pada ayahku. Aku mengubah semua tentang hidupku, karena setiap harinya aku berpikir mungkin besok adalah hari terakhir ibuku. Hingga aku berada di posisi seperti ini, pak.

BERSYUKUR:

Aku bersyukur, ibuku meninggal ketika aku tidak lagi membebani hidupnya.

Aku bersyukur, ibuku meninggal setelah aku memberinya cucu yang sehat dan berbakti.

Aku bersyukur, ibuku meninggal saat masa tuanya hanya tinggal memikirkan Persekutuan-Pelayanan dan kesaksian.

Aku bersyukur, ibuku meninggal dengan menepuk dada setiap kali dia bercerita tentangku dan saudariku.

Aku bersyukur, ibuku meninggal di rumahnya dan bukan di kontrakannya.

Aku bersyukur, ibuku meninggal sekarang ini, pak.

Aku bersyukur, ibuku meninggal penuh kebahagiaan karena aku dan saudara-saudaraku selalu menghubunginya setiap hari menanyakan kabarnya dan menceritakan kabar kami.


Sang anak mulai meneteskan air mata, dan mulai mengalir deras, meski bibirnya terus menerus mengukirkan senyum yang menyejukkan. Dia mengubah semua sikap buruknya hanya untuk sang ibu tercinta. Dan akhirnya ia bias melihat ibunya meninggal dalam keadaan senang dan bangga dengan anaknya.
Kita yang ditinggalkan, hendaknya berdoa, begini: ”Tuhan, kiranya kesukaanku yang terdalam ialah bahwa entah aku masih lama hidup atau segera akan mati, aku menyenangkan-Mu.
Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar