Minggu, 08 Oktober 2017

Sabda Bina Diri (hari ke 109), Kamis, 5 Oktober, 1Raja-Raja 13:23-34



HUKUM TABUR TUAI
Oleh: Reinhard Samah Kansil

Kasih sayang tak hanya ditunjukkan oleh sanjungan dan pujian, tetapi juga teguran atas kesalahan dan kelalaian.

Hukuman adikodrati

Ayat 24 berbunyi: “Orang itu pergi, tetapi di tengah jalan ia diserang seekor singa dan mati diterkam”. Singa masih mengembara mencari mangsa di sekeliling Betel dan kadang-kadang menerkam pejalan kaki yang tidak waspada. Namun supaya bisa diketahui bahwa peristiwa ini memang merupakan sebuah hukuman adikodrati dan bukan kecelakaan biasa, singa itu sesudah menerkam sang nabi tidak merobek-robek tubuhnya dan juga tidak membunuh keledai jinak yang ditunggang sang nabi, tetapi hanya berdiri tegak dengan tenang seakan-akan dilarang bergerak oleh kekuatan ilahi.

Dalam pada itu, ayat 26 mengatakan: “Dialah abdi Tuhan yang telah memberontak terhadap titah Tuhan”. Sekalipun nabi yang berbohong tadi tidak menderita hukuman yang kelihatan, kepedihan nuraninya pastilah hebat ketika dia menyadari bahwa dia telah mendatangkan kematian seseorang dengan cara mengajaknya melakukan ketidaktaatan.

Penghakiman dan berkat.

Tragedi yang menimpa abdi Tuhan dari Yehuda ini paling tidak akan mengundang dua pemahaman yang agak sumbang yaitu, pertama bahwa Tuhan tidak adil. Dosa abdi itu dianggap relatif kecil bila dibandingkan dengan dosa Yerobeam, tetapi mengapa harus dihukum tanpa peringatan terlebih dahulu? Pemahaman kedua adalah bahwa abdi Tuhan ini memang "bernasib" naas karena sudah menahan lapar, berhasil menolak godaan yang besar, tetap harus kalah karena kebohongan dan makan malam yang sebetulnya memang ia butuhkan.

Namun itu semua adalah pemahaman yang tidak komprehensif dan tidak berdasarkan persepsi Tuhan. Sang abdi Tuhan memang menerima hukuman yang tragis karena ketidaktaatannya, yaitu mati diterkam singa dan mayatnya dicampakkan di jalan untuk beberapa lama. Itu adalah sebuah kematian yang sangat hina bagi siapa saja. Walau demikian, di balik kematian tragisnya terkandung berita penghakiman bagi orang yang menerima anugerah karena bertobat dan orang yang akan tetap menerima hukuman Tuhan karena tidak mau meresponi secara benar panggilan pertobatan Tuhan (ay. 33-34).

Nabi tua itu, walaupun tidak dikatakan secara eksplisit, melihat bahwa abdi Tuhan itu benar dan ia ingin seperti dia. Buktinya ia ingin dikuburkan bersama abdi Tuhan itu. Dengan kata lain, kematian abdi Tuhan itu membawa berkat bagi nabi tua itu. Sebaliknya, bagi Yerobeam kematian abdi Tuhan itu memukul genderang kematian bagi Yerobeam dan keluarganya. Yerobeam tidak bertobat, malah semakin berbuat dosa. Itulah paradoks kematian tragis abdi Tuhan itu. Di satu sisi, kematian itu seakan-akan sia-sia dan hina, di sisi lain mengandung nilai mulia karena dipergunakan Tuhan bagi kepentingan umat lainnya. 

Dengan demikian, kita tidak bisa menghakimi seseorang karena penderitaan atau hukuman yang harus dialami. Semua peristiwa yang menimpa kehidupan anak-Nya harus ditempatkan pada misi keselamatan Tuhan bagi manusia secara menyeluruh.
Renungkan hal ini: “Lihatlah setiap peristiwa kegagalan dan keberhasilan di dalam kehidupan kita dan orang lain dalam perspektif bahwa Tuhan mampu mempergunakannya untuk mendatangkan berkat bagi orang lain dan menegaskan penghakiman bagi mereka yang memang bersalah. Tugas kita adalah menegurnya dan bukan menghakiminya”.

ADA AKIBAT KARENA ADA SEBAB. APA YANG KITA TABUR, ITULAH YANG AKAN TUAI.

#Salam_WOW


Tidak ada komentar:

Posting Komentar